AdSense Page Ads

Monday, April 23, 2018

Pahit Manis Cinta



"And when we try to push each other away
When we got disillusioned with life and ourselves
When everything feels useless and meaningless
Let's open this book, dear husband"

"Dan saat kita mencoba menjauhi satu sama lain
Saat kita tak lagi merasa hidup dan diri kita indah
Saat semua terasa hampa dan tak berguna
Mari buka buku ini, suami tercinta"

Lelaki itu menatap istrinya, "Aku tidak tahu kamu menulis ini." Sang istri tersenyum pahit, "Itu selalu ada di buku elektronik yang kubuat untuk ulang tahun pertama perkawinan kita, dua tahun yang lalu. Baru sekarang aku cetak." "Oh," kata si lelaki. Seminggu kemudian ia terbang ke Indonesia untuk bertemu kekasihnya.

Bagaimana rasanya? Pahit. Dan ironis. Harga cetak buku itu hanya seharga makan bersama di restoran. Hanya seharga 3 bra diskonan dari Victoria's Secret. Hanya seharga 1 lusin cupcake terkenal disini. Dan jelas lebih murah dari perceraian, apalagi tiket ke Indonesia. Tapi kan kita nggak bisa memaksa orang. 

Reaksi saya tiap kali melihat buku itu adalah: "Coba saya cetak buku ini lebih cepat…" Karena nggak ada harga untuk kebahagiaan, bukan? Siapa tahu kalau saya cetak lebih cepat, kalau itu buku ada dirumah, saya dan dia ingat akan kebahagiaan kita bersama dan nggak terlalu stress akan kehidupan.

Tapi… Buku itu selalu ada kok, walau versi elektronik. Selalu ada bunga untuknya di hari istimewa. Selalu ada hadiah kecil dari saya di saat spesial. Selalu ada tangan yang siap membelai dan memeluk. Selalu ada foto di fesbuk dan tulisan di blog saya. Kurang apa lagi?

Setiap ada yang cerita ke saya tentang kandasnya hubungan mereka, pertanyaannya selalu: Apa yang sudah mereka lakukan untuk mengusahakannya? Dan apakah masih pantas untuk diusahakan? Pertanyaan yang sama yang ada di buku "Dear, Mantan Tersayang."

Untuk saya, jawabannya sudah jelas. Pahit sepahit-pahitnya saat tahu bahwa segala usaha kita nggak ada artinya, karena kita dan mereka memang sudah tidak sepaham lagi. Pahit untuk memilih pergi karena tahu tidak ada lagi yang bisa diusahakan. Tapi saya harus pergi.

Dua tahun kemudian, saya berada di sebuah pesta di atap gedung di Hollywood. Saya dan teman dansa saya berdansa saat mengantri makanan kami, lalu berdansa lagi setelahnya, terus sepanjang malam. Saya merasa bagai putri semalam, dimanja dan dibuat tertawa.

Apakah keputusan saya untuk pergi sudah tepat? Bagi saya, iya. Malam kemarin hanyalah salah satu saat dimana saya merasa saya sangat bahagia dengan hidup saya. Ada kepuasan dan kekuatan tersendiri untuk tahu bahwa saya telah berusaha semaksimal mungkin, walau akhirnya kandas.

Kita nggak bisa bergantung pada orang lain, berharap orang lain akan membuat kita bahagia. Yang bisa kita lakukan adalah membahagiakan orang lain, membuat orang tersebut merasa dicintai, merasa disayangi; walau belum tentu perasaan itu sampai pada mereka.

Nggak kenapa lho kalau nggak sampai. Pahit memang, menyebalkan, bikin frustasi. Tapi kita, sekali lagi, kita nggak bisa memaksa orang. Itu seperti memaksakan sepatu kaca Cinderella di kaki saudara tirinya. Bagi orang yang tepat, nggak dipaksain juga pasti muat.

Sampai saat ini saya masih dihantui dengan "Coba kalau…" walau sudah jauh berkurang frekuensi/ keseringannya. Saat itu terjadi saya akan terus mengingat: "Coba kalau saya tidak pergi, saya tidak akan sebahagia ini sekarang. Walau dulu saat pergi air mata tumpah, sekarang gelak tawa yang pecah.

Kata orang move on itu merelakan. Move on itu melupakan. Tapi jangan lupa, move on juga berarti menikmati hidup kita yang sekarang. Dunia akan terus berputar walau tanpa kekasih hati. Angkat dagumu dan tersenyumlah, pembaca tersayang. Hidup itu indah lho.

No comments:

Post a Comment

Search This Blog