AdSense Page Ads

Monday, June 12, 2017

Saya Kasihan

Jadi tengah malam ada yang sms saya di Instagram, intinya menyalahkan saya karena nggak mempercantik diri saat suami selingkuh. Karena kan lelaki mahluk visual, senang lihat yang cantik-cantik. Err...

Orang ini sih kayaknya memang internet troll tulen, yang memang punya akun buat nyampah aja. Saya cek follower dan yang difollow masih 0 alias kosong, dan post nya baru 1. Bau-baunya dibikin khusus untuk komen tapi nggak mau ketahuan. Saya nggak marah sih sama orang ini, saya kasihan saja.

1) Saya kasihan sama orang model begini yang masih percaya kalau wanita cuma pajangan saja.

Selaku (calon) ibu dari anak-anak si suami, ada juga yang dipilih harus kompeten ya? Yang cerdas, penyayang, kuat, mau dan bisa diajak bekerja sama. Cantik sih memang enak dilihat, tapi pernikahan/hidup bersama kan ga cuma lihat-lihatan. Sudah waktunya kita melihat wanita sebagai ratu, yang kalau rajanya kenapa-kenapa harus siap mengambil alih kerajaan. Rajanya juga jangan kampret dan memperlakukan sang ratu sebagai selir belaka. Kita sebagai pasangan membutuhkan satu sama lain kok. Percaya deh, tampilan fisik saja nggak cukup untuk mempertahankan hubungan; dan kalau memang hubungan cuma karena fisik, awas-awas ditinggal untuk yang lebih menarik. Ini membawa kita ke poin 2.

2) Saya kasihan dengan orang-orang yang berpikir selingkuh itu hal yang hitam-putih.

Kalau lihat poin 1, memang ada pria/wanita yang mutlak mencari hubungan berdasarkan fisik saja. Tapi saya yakin kebanyakan hubungan nggak seperti itu. Harus ada ketertarikan antara satu sama lain sampai akhirnya memutuskan untuk bersama. Sebaliknya, selingkuh juga bukan suatu masalah yang bisa dibereskan dengan cepat seperti menenggak Pan Odol untuk sakit kepala.

Ada banyak faktor mengapa seseorang memutuskan berselingkuh. Tampilan fisik memang salah satu faktor, namun bukan faktor utama. Kesempatan dan kekuasaan lebih berperan, dengan kata lain ada celah dan mampu selingkuh. Kalau begini mau secantik atau sesempurna apapun nggak ngefek. Detail lengkapnya ada di buku saya yang akan terbit sebentar lagi, tapi untuk sekarang coba berpikir: mau sampai kapan harus berubah demi pasangan?

Kalau berubah yang baik demi kesehatan dan alasan higienis ya nggak apa-apa, atau berhenti dari kebiasaan buruk seperti belanja bra tiap ada sale (oops). Tapi kalau yang: "Dia lebih menarik", "Dia lebih penyayang", "Dia lebih jago ilmu agamanya", "Dia lebih kaya/karir lebih stabil" dan sebangsanya, males kan? Kalau memang nggak tahan dan nggak cocok yuk mari bye bye, jangan baru cari alasan pas ketemu yang lebih bagus. Lu pikir gue provider hape yang lu tinggal ganti nomor pas nemu paket yang lebih oke? Diselingkuhi itu menyakitkan lho, yang membawa kita ke poin 3.

3) Saya kasihan sama orang-orang yang diselingkuhi dan harus menerima "penghakiman" model begini.

Yang sms saya pasti nggak tahu saya masih jatuh bangun. Minggu lalu saya depresi nggak jelas karena 10 hari lagi peringatan setahun saya menemukan bukti perselingkuhan mereka. Saya sampai nyaris nggak bisa kerja, dan rasanya seperti mengulang kembali semua mimpi buruk itu.

Saya tahu saya beruntung. Saya punya cukup percaya diri dan common sense/akal sehat untuk tahu bahwa perselingkuhan ini bukan salah saya; bukan karena sesuatu yang "kurang" dari saya, melainkan yang "kurang" dari dia: kurang ajar. Ih saya tega. Maaf ya mantan dan mbak kalau kebetulan baca tulisan ini. Ini memang harus dan sudah terjadi mengingat kepribadian saya dan mantan.

Tapi kan nggak semua seberuntung (dan secuek) saya. Banyak orang yang diselingkuhi, pria atau wanita, yang berpikir itu salah mereka, bahwa mereka yang harusnya 'lebih baik'. Terbayang nggak mas dan mbak yang sudah terpuruk begini mendengar, "Lagian elu sih (isi sendiri kritikmu)", apa nggak jadi tambah terpuruk? Dihakimi bahwa kita penyebab diselingkuhi sudah sakit, apalagi dihakimi itu terjadi karena fisik kita, yang membawa kita ke poin 4.

4) Saya kasihan sama orang yang dituduh jelek dan menganggap dirinya jelek, termasuk saya...

Gimana ngomongnya ya... Saya cari lelaki disini mah gampang hehe. Jalan ke supermarket dengan tampang kucel baru bangun tidur juga masih ada yang nyapa, "Hello beautiful!" Tambah lagi saya dasarnya perhatian dan asik diajak ngobrol, yang sangat dihargai orang-orang disini. Nggak cukup cuma cakep doang. Jadi kalau dibilang saya ditinggal karena kurang cakep ya hmm...

Tapi kalau ini terjadi waktu saya masih di Indonesia, pasti berasa down banget. Tahu diri banget saya nggak sesuai standar mayoritas lelaki di Indonesia. Entah berapa kali pdkt, chatting, dan seterusnya, yang ujung-ujungnya ditolak. Sementara saya pun yang nggak sudi berubah. Kalau mau gue lebih langsing putih bermakeup etc sesuai standar lu, kualitas otak lu juga harus sesuai sama standar gue.

Belum lagi saya cuma laris di sms pas foto profile pake baju yang agak terbuka. Laris diajak check in maksudnya, baik terselubung maupun terang-terangan. Makanya akhirnya saya banting setir sama bule, kalau sama-sama free sex dan playboy sekalian cari yang bisa diajak ngobrol. Tapi tetap saja, tahu banget fisik saya nggak sesuai standar. Butuh waktu lama dan sekian banyak pujian hingga saya merasa nyaman dengan diri saya sendiri.

Lagi-lagi saya beruntung, orang lain belum tentu. Operasi plastik itu mahal lho. Dan kalau memang kulitnya gelap, apa harus di bleach pakai merkuri? Ijazah/pendidikan, kepintaran, kesholehan/ketaatan beragama, semua ini bisa diraih. Nah fisik sesuai 'standar' meraihnya gimana? Apalagi untuk hal-hal yang nggak bisa diubah seperti warna kulit, tinggi badan, tampilan muka, dan sebagainya. Udah? Hidup gue jadi harus selesai gara-gara ga sesuai standar lu? Kita seringkali nggak sadar bahwa omongan yang kita ucapkan itu bisa begitu menyakiti orang lain, yang membawa kita ke poin 5, poin terakhir.

5) Saya kasihan dengan orang-orang yang komentar seperti ini.

Tiap kali saya dengar komentar sinis menghakimi begini saya jadi sedih. Kasihan mereka, hidupnya nggak tenang sampai harus membikin down orang lain untuk merasa baik. Saya tahu karena saya pernah di posisi mereka. Siapa sih yang nggak pernah? Biasanya ngegosipin dengan heboh orang yang kita nggak suka, lalu tanpa tahu cerita aslinya langsung menuduh, "Tuh iya kan, abis dia emang nggak bener banget sih bla bla bla". Ini kelakuan SMP/SMA banget deh, yang sayangnya sering terbawa sampai dewasa.

Tapi terkadang saya menemukan fakta/sisi lain dari orang yang saya omongin, lalu saya jadi malu sendiri karena tuduhan saya salah. Pelan-pelan saya mulai stop menghakimi, atau paling nggak saya simpan di dalam hati dan bukannya disebar. Ini susah, karena tudingan ini biasanya terjadi kalau kita merasa tidak senang dengan orang tersebut, dan menjustifikasi perbuatan tidak menyenangkan kita dengan alasan orang tersebut yang bikin kita nggak hepi.

Kasihan banget kan jadinya orang-orang yang sibuk menebar kebencian dan penghakiman di sosmed? Orang-orang yang memaki dan mengutuk dan mengancam melakukan kekerasan, orang-orang yang penuh kesinisan dan ejekan, orang-orang yang sibuk menuding dan menuduh dan memberi pendapat merendahkan tanpa diminta atau bahkan tanpa kenal. Kebayang nggak gimana 'tenang'nya mereka tidur di malam hari, atau saat menjalankan keseharian mereka?

Dan ini bukan cuma di Indonesia. Di Amerika sini ada nenek-nenek yang dihukum penjara karena terus menghubungi ortu yang anaknya meninggal saat penembakan Sandy Hook dan bilang, "Lu tau kan itu cuma konspirasi? Lu nipu aja, anak lu sebenarnya ga mati kan?" Kebayang nggak perasaan orang tua yang kehilangan anaknya saat itu?

Buat kita yang 'waras', jalannya jelas. Punya hati sedikitlah. Pikir-pikir sebelum posting. Anda berhak menyuarakan pendapat anda, tapi hanya karena anda berhak bukan berarti anda harus. Terkadang diam lebih baik, apalagi kalau motifnya sekedar "Biar tahu rasa dia!" atau ego kita belaka. Buat yang 'sakit', yang nggak mampu bersimpati terhadap orang lain, yang kayak gini nggak usah dibantah. Anda bisa membantu mengkonter dengan menulis hal yang menyejukkan bagi orang yang 'diserang', setidaknya mengingatkan pembaca lain "Begini lho cara bersosmed yang beradab".

Saya nggak mau muluk-muluk "Oh belajar beradab biar Indonesia maju". Nggak lah. Yang begini sih di semua negara ada ya. Saya cuma mau ada lebih sedikit penderitaan di dunia ini, dan lebih banyak kasih. Kalau bersikap baik adalah pilihan, kenapa tidak?

5 comments:

  1. anjing menggonggong kafilah berlalu, mbak.. tetap tawakal dan semangat mbak, ga usah peduliin apa kata orang. mereka juga belum tentu kuat kok klo ada di posisi mbak, cheers! :)

    ReplyDelete
  2. Betul mba Ary!. Cantik memang perlu Tapi isi kepala & attitude yg paling penting. Biar aja Mba orang mau ngomong apa, yg penting mba jadi diri sendiri. :)

    ReplyDelete
  3. Saya pernah mengalami posisi mba Ary.. Malah yg menghakimi saya sebagian besar orang2 terdekat, bikin kita nge down bgt.. Hiks.. Rasanya ga punya siapa2..

    ReplyDelete
  4. klo nikah cuma liat dr tampilan fisik aja, kemungkinan org2 kyk sy yg gak secantik dian sastro pasti gak nikah2 mba,lah sodara sy ngeluh punya istri cantik, kerjanya cm main hp doang

    ReplyDelete
  5. Duh mbak...gw kayaknya mesti sering2 baca blog lu deh mba supaya bisa kembali waras dan lebih menghargai diri gw sendiri.

    ReplyDelete

Search This Blog